Type Here to Get Search Results !

Rakyat Makin Menderita, Saatnya Laksanakan UUD 1945



Perekonomian bangsa sudah seharusnya dikembalikan pada konstitusi karena konstitusi merupakan dasar pijak bagi penyelenggaraan perekonomian yang bertujuan agar perekonomian rakyat bisa berkembang dan menjadi kekuatan perekonomian nasional. 

Penderitaan rakyat karena belitan kemiskinan, terjadinya pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK), kebangkrutan usaha, sejak era kemerdekaan hingga abad komunikasi saat ini, akan selalu berlanjut sepanjang rakyat tidak menguasai perekonomian negerinya.

Dari hasil perbincangan media ini dengan Ketua Pusat Studi Ekonomi Kekeluargaan ‘PUSEK’ Chairul Hadi M Anik beberapa waktu lalu di Jakarta, dalam kajian Pusat Studi Ekonomi Kekeluargaan (PuSEK) penderitaan Bangsa Indonesia akan berlanjut sepanjang rakyat tidak menguasai perekonomian negerinya.

Bagaimana agar rakyat menguasai perekonomian, kata Proklamator Bung Hatta, harus dilaksanakan Pasal 33 UUD 1945. Tetapi, kenapa belum dilaksanakan justru ekonomi nasional berada dalam genggaman kapitalisme?

Perbincangan kami semakin memanas, ketua ‘PUSEK’ Chairul Hadi M Anik memberikan penjelasan kepada kami secara bertahap untuk disampaikan kepada publik, agar rakyat menyadari bahwa perekonomian nasional diatur menurut Pasal 33 UUD 1945.

Dalam konstitusi kita, perekonomian harus dikuasai oleh rakyat agar rakyat hidupnya sejahtera. Bukan seperti sekarang, rakyat melarat berada dalam penderitaan tanpa ujung apalagi terdampak pandemi covid-19 yang belum jelas bagaimana ke depannya di negeri kita.

Dalam perbincanga ini, sekaligus sebagai deklarasi PuSEK sebagai pusat kajian ekonomi kekeluargaan yang merupakan pengejawantahan Pasal 33 UUD 1945. Namun, seperti diketahui bersama, Pasal 33 UUD 1945 ini tidak digunakan sebagai dasar perekonomian bangsa dan dimulai sejak awal pemerintahan Suharto.

Presiden kedua ini mempercayakan pelaksanaan perekonomian nasional kepada Widjojo Nitisastro yang menurut ilmu ekonomi di Amerika Serikat membawa perekonomian bangsa menurut paham kapitalis (kapitalisme).


Ekonom di negara kita yang umumnya berpendidikan Amerika Serikat menggandrungi bahkan memuja-muja kapitalisme padahal bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.

Sejak saat itu hingga sekarang perekonomian kita berjalan dalam praktek kapitalis dan sudah mengakar hingga ke desa-desa.

Implikasinya, rakyat pada umumnya dan terutama rakyat desa, berada dalam dua tekanan ekonomi yakni, bila berproduksi atau panen harga turun dan sebaliknya bila berbelanja memenuhi kebutuhannya harga tinggi dan tidak terjangkau dan membuat rakyat terus menderita.

Menurut PuSEK penderitaan rakyat itu berlanjut hingga terus bahkan hingga masa-masa mendatang apabila perekonomian tidak berjalan menurut Pasal 33 UUD 1945, yaitu suatu landasan perekonomian yang sesuai dengan budaya bangsa yaitu tolong menolong dan kebersamaan.

Dalam kajian yang dilakukan terhadap khususnya mengenai Pasal 33, peekonomian bangsa sudah seharusnya dikembalikan pada konstitusi karena konstitusi merupakan dasar pijak bagi penyelenggaraan perekonomian yang bertujuan agar perekonomian rakyat bisa berkembang dan menjadi kekuatan perekonomian nasional. 

Ketua PuSEK Chairul Hadi M Anik yang melakukan kajian ekonomi kekeluargaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 diawali dari kupasan-kupasan mengenai koperasi pada 1986 mengungkapkan bahwa sistim ekonomi kekeluargaan sebagaimana Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 akan membangkitkan usaha rakyat yang berada dalam tekanan ekonomi kapitalis. Dalam kertas kerjanya untuk internal PuSEK (2021) berjudul, “Kembalikan Sistim Ekonomi Kekeluargaan di Indonesia,”

ia mengatakan, “sudah waktunya kebijakan ekonomi nasional kembali pada sistim ekonomi kekeluargaan yang merupakan dasar untuk mengembangkan ekonomi nasional dan akan memberikan kesejahteraan bagi bagi rakyat sebagaimana Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.”

Namun, “Kenapa ekonomi kekeluargaan belum diterapkan hingga saat ini?,” tanya Chairul Hadi. Karena, menurut dia waktu itu hampir semua ekonom Indonesia sependapat bahwa rumusan ekonomi yang dicantumkan dalam pasar 33 Ayat (1) UUD 1945 tersebut dianggap hanya menunjukkan arah yang tidak boleh ditempuh, tetapi tidak menggariskan sistim ekonomi yang dituju.


“Pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam makalahnya yang diajukan pada tanggal 23 September 1955 dalam simposium di Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa ‘Tafsiran yang telah kita dengar hanya menunjukkan arah yang tidak boleh ditempuh, tetapi tidak menggariskan sistim ekonomi yang harus dituju’,” kata dia.

Ekonomi sebagimana Pasal 33 UUD 1945 dan di sini khususnya Ayat (1) sangat bisa diterapkan bukan tidak jelas arah yang dituju bukan tidak jelas seperti dikatakan Widjojo Nitisastro. Karena itu, kita introspeksi dan momentum peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2021 dapat dijadikan spirit bersama untuk kembali pada konstitusi, kita memahaminya untuk mencapai tujuan hidup bernegara, yaitu memenuhi kesejahteraan rakyat semuanya secara merata bukan orang segolongan.

Bila dilakukan kilas balik sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, sejauh mana perjalanan Indonesia merdeka membawa rakyat mendapatkan kedaulatan dan kesejahteraan sesuai amanat UUD 1945? Apakah arti kemerdekaan bagi perbaikan nasib rakyat banyak yang hidup dalam belitan kemiskinan, pengangguran, kehilangan usaha dan dan kebangkrutan, tidak hanya terdampak pandemi tetapi sejak awal kemerdekaan hingga sekarang masih termarginalkan? 


Keadaan ekonomi rakyat seluruhnya, di kota-kota dan di daerah-daerah hingga di desa-desa, usaha-usaha sektor UMKM, dan sejak dua tahun terakhir pandemi virus corona masih terus menjangkiti negeri, memperlihatkan semua berada pada kondisi serba kesulitan.

Rakyat mengalami penderitaan, seperti jalan tak berujung. Anak bangsa menerawang, menatap kosong masa depan. Perjalanan bangsa sejak awal kemerdekaan belum menyentuh cita-cita proklamasi, kesejahteraan secara merata dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Kesulitan demi kesulitan berusaha bagian dari penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Cahaya terang kemerdekaan yang menyinari bumi pertiwi tidak menyentuh rakyat banyak yang hidup dari berbagai usaha mikro, kecil dan di pasar-pasar rakyat.


Mereka tertekan dalam berusaha oleh kekuatan praktek ekonomi kapitalis yang sangat kuat menguasai ekonomi nasional.

Tidak ada perubahan mendasar perekonomian bangsa sejak kemerdekaan diprroklamirkan hingga sekarang, struktur ekonomi hancur dalam tekanan kapitalis.

Dahulu kapitalis itu penjajah Belanda dan sekarang berupa perusahan transnasional dan perusahaan swasta nasional.

Mereka berlomba mencaplok sumber daya alam di seluruh negeri, sehingga hutan menjadi gundul dan lingkungan hidup tidak dilestarikan menimbulkan bencana, anak negeri menjadi “pengemis” atau pekerja (buruh) di berbagai perusahaan dengan upah sangat minim (upah minimum regional/UMR) tanpa ada kesejahteraan. Renungkan ini sebagai anak bangsa pejuang.

Lihat pula, program pembangunan berjalan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan utang luar yang terus bertambah. Menurut catatan PuSEK, diawal era Suharto utang luar negeri Indonesia 2,5 Miliar USD (sebagai peningaglan era Sukarno) dan akhir era Suharto menjadi lebih dari 100 Miliar USD (kurs...?).


Hingga sekarang di era Presiden Joko Widodo, utang luar negeri (ULN) Indonesia per akhir kuartal II-2021 atau hingga akhir Juni 2021 mencapai 415,1 miliar USD. Dengan asumsi 1 USD setara dengan Rp 14.300, maka ULN Indonesia adalah sekitar Rp 5.977 triliun. Utang luar negeri ini terdiri dari utang pemerintah, BUMN, dan sektor swasta (CNBC Indonesia (30/08/2021).

Terlihat bahwa utang luar negeri kita meningkat terus, awalnya 2,5 Miliar USD Era Sukarno, naik menjadi lebih 100 Miliar USD di era Suharto dan seterusnya hingga era Jokowi menjadi 415,1 Miliar USD per Juni 2021. Siapa yang bertanggung jawab membayarnya?

Ini akan menjadi “warisan” turun temurun anak bangsa. Kita memprihatinkan perjalanan bangsa yang tidak memenuhi amanah proklamasi kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Fenomena ini membuat peringatan kemerdekaan yang gempita itu menjadi hambar seperti masakan kurang garam.

Maka, sekarang setelah 76 tahun “merdeka” saatnya kita merenungkan, apa arti kemerdekaan bagi rakyat banyak yang masih hidup dalam belitan kemiskinan, pengangguran, PHK, usaha morat marit, semua jauh dari kesejahteraan. Para pimpinan bangsa melupakan UUD 1945 sebagai peta jalan kehidupan berbangsa dan bernegara dikalahkan oleh kapitalisme.

Apa arti kemerdekaan bagi perekonomian nasional, sepanjang amanah Pasal 33 UUD 1945 belum dijalankan maka kedaulatan secara ekonomi nasional masih jauh panggang dari api. Bung Hatta mengatakan, “dasar politik perekonomian Republik Indonesia terpancang dalam Pasal UUD kita UUD 1945), dalam Bab 33...”

Kenapa tidak dilaksanakan amanah Pasal 33 UUD 1945 yang bertujuan agar rakyat hidup sejahtera bukan lagi dalam hisapan kapitalis sebagaimana dilakukan penjajah Belanda dulu. Ini tugas kepala negara atau Presiden memperjuangkan pengembalian perekonomian agar berjalan diatas rel konstitusi sehingga tujuan hidup berkesejahteraan bagi rakyat semuanya secara merata segera diwujudkan. (Herry Suger)

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad