Type Here to Get Search Results !

“Nyalakan Lilinmu Kawan”

 

 



“NYALAKAN LILINMU KAWAN”

Cattn : Sutan Palala

MENURUT Ben Anderson, tidak ada pengaruh lebih besar yang membentuk bangsa ini selain yang diberikan buku, koran, majalah, dan bacaan cetak lainnya. Itu artinya pers atau jurnalisme yang termuat dalam media cetak turut berperan membentuk bangsa ini.

Begitu besarnya pengaruh pers, pemerintah Orde Lama dan Orde Baru memberangus sejumlah media cetak kritis. Pemerintah Orde Baru memberedel tiga media cetak terkemuka pada 1994. Di kedua orde, politiklah yang mengancam kelangsungan pers dan jurnalisme.

Di era reformasi yang lebih demokratis salah satu media yang diberedel Orde Baru, yakni majalah Tempo, terbit kembali. Regulasi negara berupa Undang-Undang Pers malah mendorong lahirnya banyak media, baik media cetak maupun elektronik.

Dewasa ini, munculnya internet yang melahirkan pers digital dan multimedia mengubah total industri media massa.  Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah media cetak mulai terusik dengan kehadiran internet, hampir semua perusahaan media cetak membuat produk baru berupa media online.

Media baru ini mengusung pemberitaan yang cepat, running news. Berita terus bergulir yang setiap saat, selalu meng- update pemeberitaan sesuai perkembangan objek beritanya. Langkah membuat media online sebagai suatu yang baru dalam jagat pers di Indonesia. Itu dilakukan setelah pengelola industri cetak menyadari ancaman hadirnya media online.

Mereka yang lebih merasa nyaman mengandalkan kebutuhan informasinya via internet. Mereka adalah generasi-generasi baru yang lahir dan dibesarkan dalam iklim digital. Sedangkan bagi konsumen yang lahir dan dibesarkan di era cetak serta lebih nyaman mengkonsumsi media cetak, mereka tetap menikmati informasi yang diinginkan.

Strategi yang dibuat kalangan industri cetak adalah melakukan modifikasi produk dengan perbaikan kualitas produk yang sudah ada. Inovasi menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam strategi modifikasi produk.

Masa depan industri media cetak masih menjadi tanpa tanya yang tidak  bisa ditebak oleh para ahli sekalipun. Pada strategi membuat produk baru internet, langkah penting yang perlu dilakukan media adalah mengantisipasi perubahan sistem operasi pada industri media bila industri media cetak benar-benar melakukan transformasi secara total ke media online. Satu hal penting dan mendasar yang kini kita hadapi, dunia sudah berubah dan membawa aturan baru.

Dikutip dari artikel Ilham Bintang Wartawan Senior, yang diberi judul “Hai Kawan, Percayalah: Pers & Wartawan Never Die” Dirinya amat terganggu oleh tren di media sosial yang seakan merampas hak wartawan mengelola  informasi kepada publik.

Sesuai  UU Pers 40/1999, wartawan memang memiliki hak menyebarkan informasi, membentuk pendapat umum dan kontrol sosial. Berhak meragukan atau memverifikasi informasi dari mana pun sumbernya, termasuk dari presiden, sebelum menyajikan ke publik. Yang dikecualikan, tentu hanya Tuhan dan Nabi. Benar.

Yang menyalurkan beritanya melalui media cetak dan elektronik. Padahal, secara filosofis, informasi sesungguhnya adalah milik rakyat. Keterkaitan wartawan dengan hak yang disebut, itu lebih karena profesinya. 

UU Pers No 40/1999 juga mengakui hak masyarakat luas. Posisinya tegas. Lebih tinggi derajatnya : Hak Berpartisipasi dan Hak Koreksi. (Pasal 17 UU Pers). UU Pers itu sudah menutup pintu keterlibatan pemerintah mengatur kehidupan pers.

Itu sudah  menjadi komitmen insan pers pasca reformasi untuk mencegah terulangnya kooptasi pers seperti zaman Orde Baru maupun Orde Lama. Percayalah kawan, media  memang bisa mati tapi pers tidak akan pernah mati. Demikian juga wartawannya, never die.

Apa yang terjadi sekarang adalah fenomena disrupsi atau shifting dari platform cetak dan broadcasting ke media digital. Artinya, medianya yang mati, digantikan oleh platform baru, yaitu media digital.

Bagi kawan-kawan Wartawan, Anda tidak bisa berlaku biasa-biasa saja. Segera berubah. Masyarakat sudah mengambil jalannya sendiri untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhannya. Mereka sudah mual membaca berita yang dirumuskan secara sepihak oleh redaktur sambil ongkang-ongkang kaki.

Bahkan, sebagian masyarakat kini sudah mencoba memproduksi sendiri konten-konten digital yang menarik. Di dunia hiburan muncul raksasa YouTubers seperti Rahfi Ahmad, Baim Wong, Andre Tolany, untuk menyebut beberapa nama. Rezeki mereka berlimpah ruah dari media baru itu.

Media  sosial menyediakan halaman seluas samudera untuk kita isi dengan konten digital. Karya jurnalistik tentu saja termasuk di dalamnya. Seluruh perangkat kerjanya berada di satu tangan, satu smartphone saja cukup.

Mesin itu tidak mengenal jam kerja dan deadline. Tengah malam ada ide tinggal salurkan, begitupun waktu bangun subuh. Tidak ada birokrasi panjang seperti di media cetak maupun broadcasting. Bahwa, kita belum memahami bisnisnya, itu hal lain. Hanya persoalan waktu karena platform ini memang baru.

Kita telah menyadari mindset publik pembaca sudah berubah. Membaca berita media dalam versi cetak saat ini buat sebagian orang seperti mengunyah daun sirih, begitu jadulnya.

Apalagi kalau isinya, standar saja. Kebanyakan siaran pers pemerintah, berisi pesan- pesan kekuasaan. Secara terselubung maupun terang- terangan.  Masayakat penonton dan pembaca  sudah sangat praktis, menonton film dan menonton berita pun lewat ponselnya.

lalu dia cerita tentang tehnologi AT -- Artificial Intelligence--atau "kecerdasan buatan" yang sudah di depan mata. Ayolah berubah, ayolah cepat beradaptasi. Ayo, bangkit kawan. Dengar Wilson Churchill: "Daripada terus menerus mengutuki kegelapan, lebih baik mulai nyalakan lilin. (*)

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad